DPRD: Beberapa parpol bakal menyetujui pilkada dikembalikan ke DPRD. Alasannya berbiaya mahal, dan presiden pun sepakat dengan usulan itu. Tampak Presiden Prabowo Subianto saat pidato politik di HUT ke-60 Partai Golkar (foto: dokpri Golkar).
Penulis : Asep Sabar
BATARA.Info Jakarta – Tiga hari terakhir jagad politik dipanas oleh pernyataan Presiden Praboso Subiyanto terkait evaluasi pelaksanaan pilkada yang dianggapnya terlalu boros dan mahal.
Karena itu dia mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) mendatang dipilih langsung oleh anggota DPRD.
“Hasil evaluasi ternyata pilkada langsung sangat menguras anggaran, karena itu langkah yang paling baik adalah dikembalikan ke DPRD biar efisien.
Nah, di acara ini ada para Ketua Umum parpol, jadi sudah bisa langsung diputuskan,” kata Presiden saat pidato pada acara HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Jawa Barat, Kamis (13/12/2024) malam, disambut riuh ribuan kader Golkar.
Sepekan sebelumnya Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Jazilul Fawaid juga sudah menyuarakan soal ini.
Alasannya sama, yaitu pilkada berbiaya mahal dan sangat melelahkan. Karena itu dia mengusulkan pemilihan gubernur diserahkan sepenuhnya kepada DPRD. Sementara untuk pemilihan bupati/walikota tetap dilakukan langsung oleh rakyat.
Pendapat yang sama disampaikan Ketua Umum Partai Golkar; Bahlil Lahadiala. Dia menyambut baik usulan Presiden Prabowo untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD.
Menurut Titi Anggraini, mantan Direktur Perludem sekaligus pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menutup ruang bagi pembentuk undang-undang untuk mengembalikan pilkada ke DPRD.
Lanjut Titi, MK sudah mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XXII/2019 yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia.
“Dalam putusan tersebut, MK menawarkan sejumlah model keserentakkan pemilu yang juga menyertakan pilkada di dalamnya.
Praktik keserentakkan yang akhirnya dipilih pembentuk undang-undang adalah sebagaimana yang terejawantah pada 2024, yakni penyelenggaraan dua agenda kepemiluan pada satu tahun yang sama.
Hal ini diperkuat lagi dengan Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menyatakan pilkada adalah pemilu yang harus dijalankan sesuai asas pemilu luber jurdil,” papar Titi mengutip laman mediaindonesia.com edisi Jumat (13/12/2024).
Pro Kontra Warga X
Warga net (netizen memiliki pendapat yang beragam terkait usulan pengembalian pilkada ke DPRD sebagaimana pernah dilakukan semasa orde baru (orba) tersebut.
Pastinya ada yang setuju dan tidak setuju. Budi San di akun X @budsan72 mengatakan setuju. Kata dia, Pilpres dan Pileg saja yang langsung oleh rakyat, pemilihan Gubernur dan Bupati dipilih DPRD atau ditunjuk oleh Presiden. Kemudian pengawasan diperkuat karena gubernur dan bupati/walikota yang dipilih rakyat mengeluarkan biaya besar cenderung korupsi.
Menurut Yulia di akun @Udindjk4 dirinya setuju karena percuma suara rakyat ujung-ujungnya para pejabat tidak netral, peraturan diubah-ubah sesuai kepentingan, semua partai diborong, semua harus tunduk sama pusat.
Juga buang-buang duit, lebih baik akurin saja suaranya yang penting rakyat kenyang setelah itu suruh kerja untuk bayar pajak.
Kalau Ramelan di akun @kusumovina punya alas an lain. Katanya demi hemat biaya, ongkos pilkada bisa untuk infrastruktur, subsidi pendidikan dan membuka lapangan pekerjaan. Tapi untuk pilpres tetap seperti sekarang dipilih oleh rakyat.
Netizen lainnya Malik Abdilla di akun X @AbdulMl88519656 tegas mengatakan kalau bupati/walikota daerah otonom ya harus dipilih langsung oleh rakyat, tapi kalau gubernur setuju dipilih DPRD saja. Karena gubernur/propinsi kepanjangan tangan presiden/pusat.
Menurut Mugiwara D Luffy di akun @suryadarma939 dengan pilkada oleh DPRD minimal tidak buang-buang duit, “toh kebanyakan kepala daerah juga yang terpilih orang-orang parpol.
Jadi tidak buang waktu tidak buang pikiran ngurusin sengketa-sengketa yang ada, belum nanti kerusuhan toh hasilnya tetap sama saja.”
Ajeg dalam akun @ajegilalu1 juga setuju, bahkan dia mengkritisi reformasi.
Katanya, pemilu reformasi selama ini cuma sibuk melayani kepentingan peserta (calon dan partai) maupun kepentingan pelaksana (KPU), tidak melayani kepentingan pemilih (Rakyat). Rakyat terus-menerus dijadikan alas kaki untuk masuk klub penguasa.
Chriestyan Constantino di @CriestyanK bilang kalau Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi/Kota/Kabupaten dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dipilih saja oleh DPRD.
Karena dipilih langsung pun yang menentukan calon kepala daerah untuk maju juga partai politik. “Kepala Daerah dipilih DPRD, setuju! Presiden tetep dipilih langsung! Presidential Threshold 0-5 persen,” timpal Aris Mulyono di akun X @arismulyono63.
Warga lainnya Cimbul Pamungkas dalam @cimbulpamngkas tegas setuju usulan tersebut, namun dengan syarat jika kepala daerah dalam menciptakan stabilitas daerah gagal, maka DPR dan kepala daerahnya wajib lengser.
Menurut akun @QuatraEm dalam prakteknya pilkada lansung kandidat harus mengeluarkan biaya besar: (1). Biaya kepada parpol pengusung. (2). biaya kampanye dan sosialasi kandidat. Jadi ini anomali dimana negara sedang gencar perang dengan korupsi, tapi di sisi lain para politisi untuk menjadi pejabat politik baik di pilkada maupun pemilu, melakukan praktek-praktek korupsi tersebut.
Tidak Setuju : Kembali ke Orba
Di akun X @PDI_Perjuangan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif; Deddy Sitorus menyebutkan bahwa partainya tak mau terburu-buru soal usulan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Katanya PDI Perjuangan sampai saat ini masih menganut prinsip kepala daerah dipilih oleh Rakyat. “Yang pasti kami menganut prinsip kedaulatan rakyat adalah prinsip utama dalam pemilu, vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan dan kedaulatan rakyat itu diejawantahkan melalui pemilu langsung.”
Kata Deddy sikap resmi PDI Perjuangan akan disampaikan setelah draft usulan revisi undang-undang Pilkada dibuat, dan akan melakukan kajian lebih dalam.
“Tapi pada prinsipnya, kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan di tangan rakyat. One man, one vote.”
Nenurut Cantikku dalam @CantikSeorang mengkritik usulan tersebut. Kata dia, kalau mahal yang dipikirkan itu bagaimana caranya biar murah bukan sistemnya yang diubah. “Yang mahal itu apanya sih? Mahar? Money politik? Biaya saksi? Biaya kampanye? Kalau semua ditiadakan dan dibiayai negara jadi murah. Syaratnya penegakan hukum harus tegas.”
Sepakat dengan akun di atas, Deden Sujana dalam @dedensujana mengatakan usulan itu cuma memindahkan sogok menyogok di meja DPRD. “Kalau kepala daerah dipilih melalui dewan, saya sangat yakin pileg 2029 cost politik yang dikeluarkan oleh caleg akan jauh lebih tinggi daripada 2024. Pada akhirnya pemimpin-pemimpin daerah kita itu hanya kalangan dari orang yang berduit yang mampu membayar dewan,´ujar Zakii dalam akun X @zakiiar.
Damar Juniores dalam @damarwidi99 to the point. Katanya, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, melibatkan rakyat sepenuhnya. “Kedaulatan ditangan rakyat untuk memilih pemimpinnya dan Pemilu pakai uang rakyat, terus rakyat disuruh jadi penonton dan terima nasib aja, dimana logikanya?” timpal Muhammad Firdaus di akun @MsFirdaus5.
Hal yang sama disuarakan Rizki Setiawibawa dalam @rizsetiawibawa.
Menurutnya kalau kepala daerah dipilih DPRD juga potensi main duitnya besar. Malah lebih parah dari pada pemilihan langsung. Percaya gitu orang-orang parlemen bisa dipercaya?
“Jadi, karena pilkada adalah representasi dari hak pilih warga negara. Itu hak jadi jangan dikebiri apapun alasannya. Dipilih MPR, DPR/DPRD kalau dasarnya punya mindset korup ya apapun akan dikorup.
Jadi, lebih baik perbaiki mental para pejabat/wakil rakyat itu,” tulis santyyy di akun @i_am_santyyy.
Demikian pula warga pemilik akun @syafril921, dia tidak setuju dengan usulan itu, “karena dengan adanya pilkada bagi pengangguran seperti kami dapat juga uang misal jadi anggota KPPS, pengawas TPS, dan saksi-saksi.”
Menurut Ari Angriawan dalam @ariointeristi kalau hanya masalah mahal seharusnya pemerintah membatasi dana politik. Kalau mau fair, kalau di olahraga salary cap. “Mahal di politik uangnya. Sekarang uang serangan fajar sudah berkisar Rp.100 ribu. Rakyat pilih yang banyak kasih uang.”
Hampir senada, Mustofa Almadury dalam @abufaiqmustofa juga tidak setuju. Katanya kalau memang alasan ongkos mahal itu untuk menutupi keputus-asaan atau ketidakmampuan pemerintah menghadirkan sistem yang lebih canggih dan terpercaya. “Masa mau balik ke orba? Alasannya biaya mahal. Padahal korupsi lebih banyak biaya nya,” cetus Fadhiel_sky168 dalam @Coredao_Idn.
Warga yang tidak setuju lainnya Jefferson Laurentius. Dalam akun @JeffersonL13667 dia menulis bukannya berfikir untuk lebih maju di pemilu dengan menggunakan sistem komputerisasi di TPS, ehh malah mau mundur ke era kegelapan orde baru.
”Sudah ada agenda untuk mengembalikan ke sistem orba dan menutup gerak reformasi yang mereka nilai tidak efektif untuk diterapkan dalam pemerintahan saat ini. Rakyat harus keras melawan kebodohan.
Jangan biarkan sistem orba menggelinding liar mengubur cita-cita reformasi yang sudah diperjuangkan dengan nyawa,” tulis Vurcoon dalam @ariyanto50852.
Menurut Atomisme di akun @roba_ie rakyat berhak memilih langsung pilihannya. Seharusnya dibuka pilihan yang luas, tidak boleh dibatasi. Kalau lewat perwakilan, belum tentu sesuai dengan keinginan masyarakat.
“Tidak ada yang salah dengan sistem demokrasi Indonesia saat ini. Yang perlu diperbaiki elit di eksekutif, legislatif, yudikatif. Reformasi Jilid 2 jawaban jika elit paksakan pilkada tertutup di parlemen daerah,” beber Suryanatoet lewat akun @siryanatoet.
Pemilik akun @Gusdian210 mengusulkan lebih baik lakukan kajian akademik untuk mencari akar masalahnya.
Lalu buat solusinya, tak harus muter-muter kembali ke sistem lama. “Ini namanya kemunduran demokratis bukan kemajuan demokrasi, kembali ke orba,” tegas @wibowoibnu7.
Soal biaya pemilu mahal, tulis Budi dalam @Budi83236750515, itu karena ulah parpol-parpol sendiri yang menghalalkan semua cara (serangan fajar, bansos dll) untuk memenangkan kontestasi.
Yang dirubah itu bukan aturannya tapi perilaku politik para parpol. One man one vote. “Bangsa Indonesia sedang belajar membangun partisipasi sadar secara langsung dan proses belajar ini jangan sampai hilang oleh alasan apapun,” tulis Dedy Nur di akun @Dedynurpalakka.
Sebenarnya ketakutan itu bisa dihilangkan, tulis pemilik @tubanesse_man bila pilkadanya dilakukan secara jujur. “Nanti yang nikmatin asyiknya pilkada cuma anggota DPRD. Kalau tak mau habisin dana besar terapkan saja prinsip pemilu luber dan jurdil dengan benar dan tegas.
“Kalau ditunjuk langsung calon-calon yang terpilih bisa dipastikan bukan yang mewakili aspirasi rakyat tapi pilihan parpol/koalisi.
Proses meritokrasi tidak berjalan ideal. Rakyat akan dikasih pilihan “itu-itu” aja. Demokrasi jadi semu seperti jaman orba dulu,” kata pemilik akun @rid_ngemil.
Ibunya Vikri dalam akun @berlima_v menulis pemilu langsung bisa murah lohh. Kalau penyelenggara dan pihak terkait lainnya betul-betul menjalankan amanah UUD.
Terus, siapa yang jamin kalau pilkada dipilih DPRD dijamin jurdil?? Sekalian aja, pemimpin daerah ditunjuk langsung oleh presiden. Lebih hemat murah meriah. “Rakyat punya peran menjadikan politik mahal, kalau ada survey soal partisipasi rakyat yang datang ke TPS aku yakin 90 persen pemilih datang karena uang saku.
Masyarakat menganggap pilihan mereka seperti mengantar orang dapat kerjaan, bukan memilih utk menitipkan aspirasi,” tulis Ning di akun X @FayaAtika.