Batara.info | Besarnya populasi pemilih muda yaitu generasi Z (lahir antara 1997 dan 2012 atau saat ini berumur 11-26 tahun) dan Generasi Milenial (lahir 1981-1996 atau saat ini berusia 27-42 tahun) menjadikan suara mereka sebagai penentu kemenangan peserta Pemilu 2024. Itulah kenapa partai politik, calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan tentunya calon presiden/wakil presiden menjadikan pemilih muda sebagai target lewat berbagai pendekatan baik yang substantif maupun hanya sekadar gimmick.
Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, pada Pemilu 2024 ini, pemilih muda mempunyai posisi tawar tinggi karena suara mereka akan menentukan seperti apa wajah Indonesia ke depan. Jika pemilih muda mengedepankan rasionalitas dalam memilih, maka, Indonesia akan menjadi sebuah support system yang baik bagi kemajuan anak muda.
Namun, jika pemilih muda hanya mengandalkan emosional atau menentukan pilihan hanya berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan semata, maka masa depan Indonesia tidak akan pernah cerah.
Senator Jakarta ini melihat bahwa sekarang sedang terjadi gelombang besar perubahan psikologis pemilih muda dari yang sebelumnya emosional atau memilih berdasarkan suka tidak suka, beralih menjadi pemilih rasional atau yang mengedepankan rasio dengan membandingkan satu calon dengan calon lainnya.
“Pemilih muda sudah cerdas membedakan mana calon yang membawa program substantif dan calon yang hanya sekadar gimmick. Pemilih muda tidak mau lagi hanya dijadikan objek meraup suara. Mereka akan pilih calon wakil rakyat dan capres/cawapres yang punya program substantif soal pendidikan, lapangan pekerjaan, biaya hidup, teknologi dan lingkungan. Sementara calon yang hanya sekadar gimmick akan ditinggalkan,” ujar Fahira Idris di Jakarta (26/1/2024).
Menurut Fahira Idris anggapan bahwa pemilih muda terutama generasi Z lebih suka gimmick dan ahistoris tidak sepenuhnya berdasar. Kedekatan generasi Z dengan teknologi informasi dan internet telah mentransformasi mereka menjadi pemilih cerdas.
Lewat internet juga mereka memahami jika ada calon baik itu calon anggota legislatif maupun capres/cawapres yang memanfaatkan algoritma media sosial untuk menebar gimmick, bukan program konkret.
Saat ini, lanjut Fahira, pemilih muda, terutama lewat internet sedang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber yang kredibel untuk membandingkan program dan rekam jejak caleg dan capres/cawapres yang akan mereka pilih pada 14 Februari 2024 nanti.
“Jangan mengira, pemilih muda terutama generasi Z sekarang lebih suka memandang kemasan dari pada isi. Sebagian besar mereka saat ini bahkan sudah memiliki kemampuan membandingkan semua calon. Bahkan, mereka sudah memiliki sikap politik terhadap caleg, capres/cawapres, bahkan kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil,” pungkas Caleg DPD RI Dapil DKI Jakarta yang punya program kerja ‘Yang Muda yang Punya Usaha’ ini.
Sebagai informasi, pada Pemilu 2024 ini jumlah pemilih muda sebanyak 115,6 juta orang dengan rincian generasi milenial sebanyak 68,8 juta pemilih dan generasi Z sebanyak 46,8 pemilih. [ary]