Revisi UU BUMN Harus Tegas Larang Rangkap Jabatan, Rieke Diah Pitaloka Ingatkan Bahaya Konflik Kepentingan

Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka. (Foto: TVR Parlemen).

BATARA.INFO, Jakarta — Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan pentingnya pengaturan larangan rangkap jabatan dalam revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, aturan yang tegas diperlukan untuk mencegah konflik kepentingan sekaligus menjaga integritas pejabat di BUMN.

Pernyataan itu disampaikan Rieke dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI dengan sejumlah pakar hukum, yakni Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, SH, LLM (UGM), Prof. Dr. I Gede Widhiana Suarda, SH, M.Hum (Universitas Jember), serta Prof. Rudy Lukman, SH, MH, Ph.D (Universitas Lampung), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (25/9/2025).

“Harus ada penegasan larangan rangkap jabatan di dalam revisi UU BUMN ini. Jangan sampai pejabat di BUMN merangkap posisi lain, baik di anak usaha maupun institusi lain, karena itu rawan konflik kepentingan,” ujar Rieke.

Rangkap Jabatan Dinilai Kurangi Efektivitas Kinerja

Rieke menilai praktik rangkap jabatan di lingkungan BUMN selama ini menjadi salah satu faktor yang mengurangi efektivitas kinerja. Ia menekankan bahwa pejabat BUMN merupakan pejabat publik yang mengelola keuangan negara, sehingga wajib tunduk pada aturan ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

“Kalau dibiarkan, rangkap jabatan bukan hanya soal etika, tapi juga persoalan hukum. Mereka mengelola uang negara, dan pertanggungjawabannya tidak bisa ganda,” tambahnya.

Usulan Hidupkan Kembali Pasal 7 UU BUMN

Dalam kesempatan yang sama, Rieke juga mendorong agar Pasal 7 Undang-Undang BUMN dihidupkan kembali. Pasal tersebut sebelumnya menegaskan peran BUMN dalam menjalankan amanat konstitusi dan pembangunan ekonomi nasional.

Menurutnya, keberadaan pasal itu krusial untuk mempertegas posisi BUMN sebagai instrumen konstitusional, bukan sekadar entitas bisnis.

“Pasal 7 harus kita hidupkan kembali. Itu penting supaya jelas bahwa BUMN bukan hanya korporasi, melainkan juga alat negara untuk mewujudkan cita-cita konstitusi,” tegas Rieke.

Ia menambahkan, tanpa Pasal 7, orientasi BUMN berisiko bergeser hanya pada keuntungan semata dan mengabaikan mandat Pasal 33 UUD 1945. Dengan adanya pasal tersebut, BUMN diharapkan tetap berpihak pada kepentingan rakyat, terutama dalam menjaga kedaulatan energi, pangan, hingga transportasi publik.

Revisi UU BUMN Jangan Lepas dari Konstitusi

Rieke menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa revisi UU BUMN harus tetap berlandaskan pada prinsip konstitusi.

“Kita harus hati-hati, karena satu pasal yang hilang bisa mengubah orientasi BUMN dari konstitusional menjadi komersial. Itu berbahaya,” pungkas politisi Fraksi PDI Perjuangan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *