Ki ke ka : Wakil Ketua DPR, Sufni Dasco Ahmad dan Dewan Pers, Jakarta tempat berbeda, Selasa (14/5/2024)
Batara.Info – Dihari yang sama, tepatnya Selasa (14/5/2024) dua lembaga menyampaikan pendapatnya tentang RUU penyiaran terbaru.
Adalah Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, di Gedung DPR Senayan, Jakarta Selatan, kemarin, mengatakan, penayangan eksklusif jurnalistik investigasi seharusnya tidak dilarang dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024. Namun, Dasco mengakui, DPR dan pemerintah yang tengah menyusun RUU penyiaran berupaya mengatur agar jurnalistik investigasi bisa berjalan dengan baik. Ia menyebut, hasil investigasi ada media tidak selalu sesuai kenyataan, sehingga harus diatur. “Ya seharusnya enggak dilarang. Tapi impact-nya gimana caranya kita pikirin supaya kemudian jangan sampai, kan itu kadang-kadang enggak semua kan,” ujarnya.
Dasco melanjutkan . “Ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat juga investigasinya separuh benar, nah itu. Jadi kita akan bikin aturannya, supaya sama-sama jalan dengan baik,”
Orang kepercayaan Presiden terpilih Prabowo itu memastikan akan mencari jalan terbaik untuk hal-hal yang diatur dalam RUU Penyiaran setelah menerima masukan dari berbagai media.
“Kan ya namanya juga hal yang dijamin undang-undang ya mungkin kita akan konsultasi dengan kawan-kawan bagaimana caranya supaya semua bisa berjalan dengan baik, haknya tetap jalan, tetapi impact-nya juga kemudian bisa diminimalisir,” imbuh Dasco
Sedangkan di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kemarin sore. Dewan Pers dengan 40-an konstituen (PWI, AJI, PRSSNI, dsb) menggelar konferensi Pers di lantai 7. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan draf RUU Penyiaran tidak sesuai dengan hak konstitusional warga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau UUD 1945. Dewan Pers beserta tegas menolak RUU Penyiaran yang saat ini tengah digodok di Badan Legislasi DPR RI.
“Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak, sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” ujar Ninik dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2924.
Dalam konteks politik-hukum, kata Ninik, regulasi tersebut tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Tidak dimasukkannya UU 40 Tahun 1999 dalam konsideran di dalam RUU ini mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform,” tuturnya.
Kemudian, Ninik menyebut bahwa RUU Penyiaran ini menjadi salah satu alasan pers Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak melahirkan karya jurnalistik berkualitas. “Dewan pers berpandangan, jika diteruskan, sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers kita jadi produk pers yang buruk, tidak prostitusional, dan tidak independen,” tuturnya.
Yang jelas dan pasti, soal draf RUU Penyiaran, jika tidak melibatkan Dewan Pers, DPR akan terus dilawan, dan kemungkinan DPR akan ‘cuci tangan’, karena urusannya sudah diserahkan ke KPI melalui UU.