Batara.info | Anggota DPD RI yang juga Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU LMB). Indonesia sangat membutuhkan aturan tentang minuman beralkohol (minol) setingkat undang-undang karena aturan yang ada saat ini sudah tidak bisa lagi menjawab kompleksitas persoalan produksi, distribusi, konsumsi dan terutama untuk melindungi generasi muda dan anak-anak dari bahaya minol.
Menurut Fahira Idris, pembahasan RUU LMB antara Pemerintah dan DPR sudah terlalu lama karena sudah berjalan hampir 15 tahun. Selain selalu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), RUU LMB ini sebenarnya sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014, kemudian dilanjutkan periode 2014-2019 hingga periode DPR 2019-2024. Pada 2024 ini, RUU LMB kembali masuk Prolegnas dengan nomor urut 13.
Terkatung-katungnya pembahasan RUU LMB ini, lanjut Fahira, memunculkan anggapan dari publik bahwa Pemerintah dan DPR tidak memiliki skala prioritas membuat aturan yang memang benar-benar dibutuhkan masyarakat terutama anak dan remaja. Sementara di sisi lain, Pemerintah dan DPR begitu mudahnya mengesahkan RUU lain terutama terkait investasi dan eksploitasi sumber daya alam yang bisa selesai hanya dalam hitungan bulan.
“Sudah hampir 15 tahun RUU Larangan Minuman Beralkohol ini dibahas oleh Pemerintah dan DPR, kapan mau disahkan? Atau kita harus menunggu hingga 2045 saat 100 tahun kemerdekaan baru negeri ini punya undang-undang yang mengatur minol? Kenapa RUU yang sangat penting dan dibutuhkan publik ini begitu sulit disahkan. Ada apa? Saya sangat berharap Pemerintah dan DPR membuka mata hatinya untuk segera mengesahkan RUU LMB yang saat ini masuk dalam daftar Prolegnas 2024,” ujar Fahira Idris di Jakarta (30/12/2023).
Fahira Idris mengungkapkan, jika merujuk kepada naskah RUU LMB yang terakhir, berbagai ketentuan di dalam RUU ini sudah sangat akomodatif, komprehensif, mempunyai formulasi sanksi hukum yang tegas, dan mempunyai dimensi perlindungan anak yang sangat kuat terhadap bahaya minol. Selain itu, unsur kolaboratif juga sangat baik karena RUU ini juga mengatur melibatkan masyarakat (tokoh agama/tokoh masyarakat) bersama unsur Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penegak hukum dalam mengawasi kegiatan memproduksi, memasukan, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi minol.
Meskipun judulnya ‘larangan’, tetapi kata Fahira, sesungguhnya RUU bertujuan menjadikan minol hanya untuk kepentingan terbatas, bukan sebuah produk yang bebas diproduksi, dijual, atau dikonsumsi. Pengaturan seperti ini juga dilakukan banyak negara lain bahkan negara yang punya kebiasaan minum alkohol seperti negara Eropa dan Amerika.
“Bayangkan sudah 78 tahun negeri ini merdeka, tapi belum memiliki undang-undang untuk mengatur salah satu persoalan serius yang dihadapi masyarakatnya yaitu minol. Dampak minol ini jika tidak diatur sangat dahsyat merusak sendi-sendi masyarakat karena mempunyai banyak dimensi dampak mulai dari kesehatan, perlindungan anak, kecelakaan, KDRT, kriminalitas, dan dampak sosial lainnya. Itulah kenapa negara-negara di dunia bahkan yang paling sekuler sekalipun sudah berpuluh-puluh tahun mempunyai undang-undang soal minol,” pungkas Fahira Idris yang juga Caleg DPD RI Dapil DKI Jakarta pada Pemilu 2024.
[ary]