DPR Hanya Berwenang Awasi dan Setujui, Bukan Bahas Teknis Kerja Sama Pertukaran Data

Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah. (Foto: m.pkb.id)

BATARA.INFO, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menegaskan bahwa DPR hanya memiliki kewenangan dalam hal pengawasan dan persetujuan, bukan pada ranah teknis pelaksanaan, khususnya terkait kerja sama pertukaran data pribadi dengan pihak asing.

Pernyataan itu disampaikan Abdullah dalam kapasitasnya sebagai bagian dari tim kuasa DPR RI dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 137/PUU-XXIII/2025. Sidang tersebut membahas pengujian materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025).

Sorotan Perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025

Menurut Abdullah, perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025 menjadi sorotan penting karena menyangkut perjanjian kerja sama pertukaran data dengan Amerika Serikat. Hingga kini, DPR belum menerima penjelasan teknis detail mengenai skema pelaksanaan kerja sama tersebut.

“Kalau yang menarik sih bagi kita yang Perkara Nomor 137, karena kita belum mengetahui perjanjian detail secara teknis, kerja sama data sama AS. Itu kan satu sisi kita sebagai DPR, tugasnya hanya mengawasi dan menyetujui. Teknisnya seperti apa, makanya nanti kita tambahkan keterangan-keterangan yang memang harus ditambahkan,” ujar Abdullah kepada Parlementaria.

Ia menambahkan, selama belum ada perjanjian teknis yang jelas, DPR hanya akan menjalankan fungsi pengawasan. Jika nantinya terbukti berpotensi mengancam keamanan data pribadi warga negara, DPR akan meminta agar kerja sama tersebut dibatalkan.

“Kalau DPR mengawasi ketika memang tidak aman, kita sampaikan, batalkan. Tugasnya mengawasi saja,” tegasnya.

Perlindungan Hak Privasi di Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025

Sementara itu, terkait perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025, Abdullah menegaskan pentingnya menjunjung tinggi prinsip perlindungan hak privasi data pribadi. Ia menolak adanya pengecualian penggunaan data tanpa izin, meskipun alasan penggunaannya untuk kepentingan akademik, seni, atau pers.

“Kalau yang perkara Nomor 135 sih sudah jelas, apapun itu hak privasi data pribadi, walaupun untuk kepentingan kampus atau kepentingan seni atau kepentingan pers, ya harus izin yang bersangkutan,” tegasnya.

Untuk diketahui, perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025 diajukan untuk menguji ketentuan dalam UU PDP yang dinilai masih membuka celah penggunaan data pribadi tanpa persetujuan pemiliknya. Pemohon menilai aturan tersebut berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara atas privasi.

Adapun perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025 berkaitan dengan kerja sama internasional pertukaran data pribadi, khususnya dengan Amerika Serikat. Pemohon menggugat kejelasan mekanisme, perlindungan, dan standar keamanan data dalam perjanjian tersebut. Isu ini semakin relevan mengingat Uni Eropa sebelumnya menolak perjanjian serupa dengan AS karena dinilai belum menjamin perlindungan privasi warganya.

Harapan Putusan MK

Abdullah menutup keterangannya dengan berharap Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan seluruh aspek secara adil dalam kedua perkara tersebut.

“Kalaupun dari Mahkamah Konstitusi ada pertimbangan lain, ya kita minta seadil-adilnya aja,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *