Batara.info | Berita Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menggandeng penyedia pinjaman online untuk mencicil UKT yang seliweran akhir-akhir ini membuat geger publik.
Banyak yang menyayangkan langkah salah satu universitas terbaik di Indonesia tersebut. Meski banyak pula yang berpandangan kerja sama ITB dan penyedia jasa pinjol untuk mencicil UKT sah-sah saja.
Terkait hukum pinjol sendiri, pada November tahun 2021 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan Ijtima’ Ulama yang dalam salah satu poinnya membahas pinjol.
Pada ketentuan hukum yang dirilis, MUI dengan tegas menyebut bahwa pada dasarnya transaksi pinjam meminjam merupakan akad (kontrak) saling tolong menolong antarsesama. Sejalan dengan firman Allah SWT: “Siapakah yang (mau) memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik? Dia akan melipatgandakan (pahala) untuknya, dan baginya (diberikan) ganjaran yang sangat mulia (surga),” (QS Al-Ḥadīd [57]: 11).
Juga sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda, “Barang siapa yang meringankan (menghilangkan) kesulitan seorang muslim kesulitan-kesulitan duniawi, maka Allah akan meringankan (menghilangkan) baginya kesulitan di akhirat kelak,” (HR Tirmidzi No hadis 1853, HR Ibnu Majah No Hadis 4295 dan HR Ahmad No Hadis 7601).
Karena prinsip akad pinjam meminjam adalah tolong menolong membantu sesama, Ijtima’ Ulama MUI dengan tegas mengharamkan segala jenis bentuk pengambilan keuntungan dari akad pinjam meminjam baik secara online maupun offline. Alasannya, hal ini termasuk riba.
Lebih lanjut, Ijtima’ Ulama berpendapat bahwa memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah haram.
Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang dianjurkan (mustahab).
Namun kemudian, menurut Ijtima’ Ulama MUI, perlu diperhatikan, bila orang yang telah meminjam sudah memiliki ganti, haram baginya menunda pembayaran utang. Ini selaras dengan peringatan Nabi SAW: Nabi SAW bersabda, “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu membayar utang adalah kezaliman,” (HR Bukhari No 2225)
Atas dasar itulah, Ijtima’ Ulama memberi tiga poin rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo, POLRI, dan OJK hendaknya terus meningkatkan perlindungan kepada masyarakat dan melakukan pengawasan serta menindak tegas penyalahgunaan pinjaman online atau finansial technologi peer to peer lending (fintech lending) yang meresahkan masyarakat.
Kedua, pihak penyelenggara pinjaman online hendaknya menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam semua transaksi yang dilakukan.
Dan ketiga, umat Islam hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Khusus dalam konteks pembiayaan pendidikan, ketua MUI bidang Fatwa, KH Asrorun Niam mendorong filantropi Islami berupa dana zakat, infak, dan sedekah dapat dioptimalkan demi pendidikan anak bangsa.
Menurut Kyai Niam, bila dirasa pembiayaan pendidikan terpaksa harus lewat akad utang, seharusnya lembaga penyalur utang tersebut tidak boleh mengambil bunga atau keuntungan sesuai dengan keputusan Ijtima’ di atas. Penyaluran dana bisa melalui akad qardhul hasan (utang tanpa bunga/riba). [MUI/ary]