Batara.info | Tidak bisa dipungkiri bahwa praktek beragama menjadi hidup dan kaya karena adanya tradisi keagamaan. Maka memandang budaya dan agama harus secara arif dan proporsional.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, jika budaya dilihat melalui kacamata yang sempit, terkesan banyak tidak bolehnya. Padahal budaya yang hidup itu juga menyemarakan praktek-praktek keagamaan.
Guru Besar Sosiologi ini mencontohkan, tradisi atau budaya syawalan yang dimiliki oleh muslim di Indonesia. Dia sepakat bahwa budaya Syawalan tidak termasuk ibadah, akan tetapi tidak kemudian Syawalan dianggap menyalahi agama.
“Bahkan ditambah lagi, saling mengunjungi, salam-salaman, dan di Jawa juga ada tradisi sungkeman, tradisi cium tangan,” ungkap Haedar pada (27/10/2023) dalam Pembukaan Rakernas Bersama LSB dan LPO PP Muhammadiyah di UMY.
Haedar menilai konsepsi keagamaan dikontradiksikan dengan wilayah ubudiyah dan muamalah menjadikan seakan-akan agama Islam tidak bisa ‘dipertemukan’ dengan agama. Hal ini menjadikan muslim terjebak pada pemikiran yang ekstrim.
Di sisi lain Haedar juga meminta supaya pemilik pandangan yang kontradiktif antara agama dan budaya ini jangan dijadikan hanya sebagai alasan supaya dianggap beda.
Dia menilai, seni dan budaya yang substantif dalam pandangan Muhammadiyah adalah mubah. Kecuali seni dan budaya tersebut malah menjadi penyebab melupakan dan menjauh dari Allah.
“Wilayah seni itu adalah wilayah yang mubah, boleh dilakukan. Dia menjadi haram ketika membuat orang menjauh dari Allah, itu biasanya dari praktek seni budaya itu, bukan watak dasar dari seni dan budaya. Bahkan juga seni dan budaya yang semakin mendekatkan diri pada Allah juga banyak,” ungkapnya.
Agama yang sifatnya mutlak, menurut Haedar sebagaimana pandangan dari Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah meliputi wilayah aqidah, ibadah, dan akhlak. Bahkan dalam akhlak, Muhammadiyah tidak mengenal akhlak situasional. [Muhammadiyah/ary]