Bali Kembangkan Bale Kertha Adhyaksa, Perkuat Keadilan Restoratif Berbasis Adat

Foto : NGARTO FEBRUANA

BATARA.INFO, Denpasar — Kejaksaan Tinggi Bali menggagas program Bale Kertha Adhyaksa sebagai model penguatan keadilan restoratif berbasis kearifan lokal. Program ini mengintegrasikan hukum nasional dan hukum adat Bali untuk menyelesaikan konflik sosial di tingkat desa secara musyawarah dan damai, tanpa harus selalu melalui proses hukum formal.

Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Dr. Ketut Sumedana, S.H., M.H., mengatakan program ini merupakan revitalisasi dari konsep hukum adat yang sudah hidup lama di masyarakat Bali, seperti peran bendesa adat dan lembaga kertha desa. Inisiatif ini disinergikan dengan program Jaksa Garda Desa yang sudah dijalankan Kejaksaan RI.

“Bale Kertha Adhyaksa bukan sekadar balai pertemuan, tapi ruang musyawarah penyelesaian perkara secara adat. Kami padukan hukum adat dan hukum positif, sesuai semangat KUHP baru yang mengakui keberadaan hukum yang hidup di masyarakat,” ujar Ketut Sumedana saat diwawancarai daring via Zoom, Selasa (15/7/2025).

Seluruh Bali Terlibat
Program ini telah disosialisasikan di sembilan kabupaten/kota di Bali. Kejati Bali bersama Gubernur melakukan konsolidasi dengan ratusan bendesa adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Saat ini, hampir seluruh desa adat di Bali telah memiliki Bale Kertha.
Jenis penyelesaian perkara di Bale Kertha Adhyaksa dibagi menjadi tiga kategori.

Hukuman berat berupa denda dan kerja sosial, hukuman sedang berupa kerja sosial seperti membersihkan pura atau balai desa, serta hukuman ringan berupa teguran tertulis.

“Seluruh proses ini tidak melanggar hak asasi manusia. Sanksi disesuaikan dengan konteks dan nilai-nilai lokal,” kata Ketut Sumedana.
Menurut dia, pendekatan restoratif ini lebih diterima masyarakat dan mampu mencegah eskalasi konflik.

Ia juga menilai bahwa peran Kejaksaan adalah membina dan mengawasi, bukan semata-mata menghukum.

Dukung Program Nasional
Bale Kertha juga mendukung program lain seperti Jaksa Garda Desa untuk ketahanan pangan, yang mendorong kemandirian desa melalui pertanian.

Meski lahan pertanian di Bali terbatas, Kejati Bali mendorong pemerintah daerah menjaga fungsi lahan agar tidak seluruhnya beralih ke sektor pariwisata.

Ketut Sumedana mencontohkan pihaknya sudah meminta bendesa adat agar tidak menjual tanah pertanian ke investor hotel.
“Kalau semua tanah dijual untuk hotel, Bali bisa kehilangan kemandirian pangannya. Kami minta perda khusus dibuat untuk melindungi fungsi lahan,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya pembenahan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang selama ini belum diawasi secara ketat. Kejati Bali mendorong agar LPD memiliki badan hukum yang jelas dan dapat diaudit oleh OJK atau lembaga pengawasan lainnya.

Didorong Jadi Perda
Program Bale Kertha Adhyaksa dinilai potensial menjadi role model nasional. Kejaksaan Agung, melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), mendukung agar program ini dituangkan dalam Peraturan Daerah.

“Ini bisa menjadi pelengkap pelaksanaan KUHP baru yang mengakui keberadaan sanksi adat. Sekarang kami sedang menyusun Perda untuk mengatur jenis dan bentuk hukuman adat secara resmi,” kata Ketut Sumedana.

Ia menambahkan, efektivitas program ini akan terus dievaluasi, termasuk keterlibatan perguruan tinggi di Bali seperti Universitas Udayana, Universitas Pendidikan Ganesha, dan Universitas Warmadewa sebagai mitra ahli dalam bidang hukum, sosiologi, dan pertanian.

Penulis: NGARTO FEBRUANA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *