BATARA.INFO – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi Co-firing adalah program yang dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menggantikan sebagian batu bara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa, seperti pellet kayu, sampah, cangkang sawit dan serbuk gergaji, pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Program ini dilakukan untuk menekan emisi karbon dalam mendukung transisi energi untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE). Co-firing tidak hanya mampu mengurangi emisi karbon, tetapi juga memberdayakan masyarakat dalam pengolahan bahan biomasa sehingga dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan,” kata Fahmy dikutip Rabu (16/10/2024).
Menurut Fahmy, di era transisi energi, inovasi co-firing PLN cukup signifikan dalam menekan emisi karbon dalam penyediaan energi yang lebih ramah lingkungan. Sepanjang 2024, Co-firing pada PLTU mampu mereduksi emisi karbon hingga 1,05 juta ton CO2 dan memproduksi energi bersih sebesar 1,04 terrawatt hour (TWh).
Fahmy menjelaskan,penggunaan co-firing selama 2023 telah meningkat jika dibandingkan realisasi pada 2022. Dalam mereduksi emisi karbon, PLN mampu menambah pengurangan emisi hingga 450.000 ton CO2. Produksi energi bersih pun tumbuh hingga lebih dari 77 persen dari realisasi 2022 sebesar 575 GWh.
“Co-firing tidak hanya menghasilkan listrik andal, namun tetap murah bagi masyarakat. Lebih dari itu, co-firing juga mendorong perekonomian kerakyatan lewat keterlibatan langsung masyarakat dalam pengembangan biomassa,” jelasnya.
Berdasarkan data 2023, PLN berhasil menyerap 1 juta ton biomassa untuk 43 PLTU di Indonesia, meningkat 71 persen dibandingkan tahun 2022. PLN terus melakukan pengembangan teknologi co-firing hingga dapat digunakan secara penuh di seluruh Indonesia. Hingga tahun 2025, PLN menargetkan program co-firing bisa dilakukan pada 52 PLTU dengan kebutuhan biomassa mencapai 10 juta ton dan mampu menurunkan emisi sebesar 11 juta ton CO2e per tahun.
Capaian PLN dalam penggunaan co-firing akan memperbaiki bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai gagal mencapai target bauran EBT ditetapkan dalam program transisi energi.
Selain itu,kata dia, target bauran EBT yang ditetapkan sebesar 23% pada 2025 tidak akan tercapai lantaran pada akhir 2023 masih mencapai 12,8%. Presiden terpilih Prabowo Subianto harus memperbaiki capaian target bauran EBT dalam program transisi energi.
“Untuk itu perlu diprioritaskan penerapan tidak hanya co-firing, tetapi juga mengembangkan inovasi EBT dengan menggunakan resources EBT yang tersedia berlimpah di Indonesia, sehingga NZE dapat dicapai pada 2060,” ungkapnya.