Soal Debat Energi, Fahira Idris: Kita Butuh UU ET bukan EBET

Batara.info | Subtema energi mendapat porsi perdebatan yang cukup hangat sepanjang Debat Keempat Pilpres 2024 yang mempertemukan ketiga calon wakil presiden. Namun, salah satu isu penting soal energi yaitu regulasi terkait pengembangan energi selain energi fosil belum tersentuh.

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, salah satu isu penting terkait pengembangan energi di Indonesia adalah penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang saat ini sedang dibahas di parlemen dan ditargetkan rampung kuartal pertama 2024. Namun, RUU ini juga masih menuai perdebatan karena dimasukkan sumber energi baru dalam pembahasan. Seharusnya RUU ini hanya berfokus kepada pengembangan energi terbarukan saja.

“Menggabungkan pengaturan energi baru dan energi terbarukan dalam satu undang-undang yang saat ini diberi nama RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan atau EBET justru problematik dalam upaya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Selain akan membuat pengembangan energi terbarukan menjadi tidak fokus, pengembangan energi baru misalnya coal gasification berpotensi akan meningkatkan emisi gas rumah kaca dan biaya penyerapan karbon dengan carbon capture sangat mahal,” ujar Fahira Idris di Jakarta (22/1/2024).

Selain coal gasification atau batu bara tergaskan, lanjut Fahira, jenis-jenis energi baru lain misalnya nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction) dan sumber energi baru lainnya sebenarnya bukanlah pilihan strategis untuk masa depan kemandirian energi Indonesia yang ramah lingkungan. Selain karena teknologi untuk mengembangkannya sudah lama ada di dunia dan sumber energinya sebenarnya tidak terbarukan sama sekali.

Bukan hanya itu, pengaturan energi baru sebenarnya sudah diatur dalam UU dan peraturan lain, mulai dari UU Energi, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Mineral dan Batubara, UU Ketenaganukliran, UU Panas Bumi, dan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional.

Ini artinya, energi baru ini bukan pilihan tepat dan strategis dalam peta jalan transisi energi Indonesia. Padahal transisi energi fosil dengan energi terbarukan sudah mendesak demi memperkuat jaminan pasokan energi sambil mengurangi dan akhirnya meredam kebutuhan akan bahan bakar fosil.

Transisi energi juga solusi menyehatkan neraca pembayaran negara akibat ketergantungan akan energi fosil dan memiliki potensi besar membuka lapangan dan kesempatan kerja terutama di wilayah-wilayah pedesaan sebagai lokasi pengembangkan energi terbarukan.

“Seharusnya payung hukum yang kita perlukan adalah Undang-Undang Energi Terbarukan, bukan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau EBET. Jangan sampai yang kita kembangkan ke depan malah energi baru yang sama sekali bukan solusi jangka panjang kemandirian energi bangsa,” pungkas Fahira Idris yang juga Caleg DPD RI Dapil DKI Jakarta ini. [ary]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *