Batara.info – Hujan mulai rutin setiap hari di beberapa wilayah di Indonesia, ini pertanda berakhirnya udara panas yang menyengat dan menjadi awal masuknya musim penghujan.
Setiap memasuki musim penghujan, peringatan akan bahaya banjir dan demam berdarah, selalu gencar disuarakan pemerintah. Berbagai upaya untuk mencegahnya, dilakukan pemerintah dari tingkat menteri hingga tingkat Rukun Warga (RW) atau Rukun Tetangga (RT).
Gerakan membersihkan sampah dari saluran air, agar tidak mengakibatkan banjir serta menguras, menutup penampungan air, mengubur barang – barang yang sudah tidak terpakai agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk (3 M) penyebab demam berdarah atau DBD, kerap di lakukan anggota jumantik bersama masyarakat.
Memasuki musim penghujan saat ini, ada yang berbeda. Khususnya pada upaya pencegahan DBD pada masyarakat, ada metode baru yang akan diterapkan pemerintah, yaitu dengan melepas jutaan ekor nyamuk jantan dan betina yang telah dimasukan bakteri wolbachia didalam tubuhnya, agar nyamuk – nyamuk pembawa bakteri wolbachia tersebut berkembang biak secara alami dan kemudian populasinya akan meredam kemampuan virus dengue yang dibawa nyamuk aedes aegypti sebagai penyebab DBD .
Menurut Siti Nadia Tarmizi Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik , jika nyamuk aedes aegypti jantan yang mengandung bakteri wolbachia kawin dengan aedes aegypti betina , maka virus dengue penyebab penyakit DBD yang ada pada nyamuk eades aehgypti betina akan terblok . Selain itu, jika yang berwolbachia itu nyamuk betina , kawin dengan nyamuk jantan yang tidak berwolbachia, maka seluruh telurnya akan mengandung bakteri wolbachia .
Akan tetapi upaya mencegah DBD dengan cara menyebar nyamuk berwolbacia, kurang efektif. Pertama, Karena dibutuhkan waktu satu tahun dari waktu penyebaran nyamuk berwolbacia untuk mendapatkan 80 persen populasi nyamuk berwolbacia dari nyamuk aedes aegypti (Menkes Budi Gunadi Sadikin ).
Kedua, penyebaran nyamuk wolbachia bersamaan dengan gerakan masyarakat memusnahkan tempat – tempat yang terindikasi menjadi tempat ideal berkembang biaknya nyamuk, dari jenis apapun (3 M).
Ketiga , dampak medis gigitan nyamuk yang mengandung bakteri wolbachia secara berkelanjutan pada manusia masih dalam belum diketahui. Kondisi inilah yang memicu penolakan banyak pihak.
Jadi akan lebih bijak, jika pemerintah mengalihkan alokasi anggaran untuk menyebar nyamuk berwolbachia, untuk meningkatkan kwalitas dan kwantitas pelaksana jumantik di tingkat RT atau RW. Karena program 3 M yang dilaksanakan anggota Jumantik, bukan hanya mencegah berkembang biaknya nyamuk aedes aegypti, tetapi juga menjadi pendorong masyarakat sadar lingkungan bersih dan sehat. Bahkan masih mungkin anggota Jumantik tersebut diberdayakan untuk membantu program – program pemerintah di tingkat RT atau RW. Seperti Dasawisma, Posyandu dan program lainnya.
Dari anggaran yang dialihkan tersebut, pemerintah telah meringankan beban ekonomi masyarakat, khususnya anggota masyarakat yang menjadi anggota Jumantik , yang saat ini bertambah berat akibat kenaikan harga barang – barang kebutuhan pokok, melalui honor yang diterima anggota Jumantik. (Yunan Arif)