BATARA.INFO – Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas memberikan perhatian penuh terhadap Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah yang terpilih di Kabinet Prabowo-Gibran.
“Harapan saya untuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah,membuka kembali ruang dialog dengan stake holder untuk mendapatkan masukan secara regular, jadi kita yang pengamat pun dapat mengetahui kebijakan-kebijakan Kementrian. Selama 5 tahun ini kami para aktivis tidak pernah mendapatkan update langsung, kecuali membaca dari media saja,” kata Darmaningtyas , Sabtu (19/10/2024).
Darmaningtyas juga meminta untuk penyusunan regulasi yang sifatnya strategis perlu lewat konsultansi/uji publik.
“Tidak perlu buat program baru yang bikin gaduh, kecuali menghapuskan program-program Merdeka yang tidak memerdekakan itu. Kebijakan Pendidikan itu tidak boleh bermerek tertentu. “Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Kurikulum Merdeka, Sekolah Penggerak, dan Guru Penggerak” itu semua merek dagang, maka sebaiknya ditinggalkan. Batalin Kurikulum Merdeka tidak akan bikin gaduh, karena sifatnya baru piloting dan baru satu semester. Jadi Kembali ke Kurikulum 2013 dengan revisi yang dipandang perlu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Darmaningtyas menilai perlu meninjau kembali sistem penerimaan murid baru berdasarkan zonasi mengingat penyebaran sekolah negeri, terutama untuk tingkat SMP-SMA itu belum merata dan jumlahnya juga terbatas.
“Yang saya usulkan dulu adalah sistem afirmasi (affirmative action), yaitu anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah negeri wajib diterima di sekolah tersebut, tapi selebihnya bisa berdasarkan prestasi, jalur pindah, keluarga miskin, dan sebagainya. Kalau berdasarkan zonasi semua, kasihan anak-anak yang tinggal jauh dari sekolah negeri, mereka tidak punya akses ke sekolah negeri yang baik,” ucapnya.
Sebagai contoh, SMAN di Gunungkidul yang baik itu adalah SMAN 1 dan 2 di Kota Wonosari. Kalau berdasarkan zonasi, anak-anak yang tinggal di Kecamatan Tepus, Rongkop, Panggang, Ngawen, dsb tidak bisa sekolah di SMAN 1 dan 2 Wonosari.
“ Kalau harus bersekolah di SMAN/SMKN di kecamatannya, berarti menutup hak mereka untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, sementara untuk bersekolah di SMA swasta yang bermutu belum tentu punya duit,” tegasnya.
“Bagi saya, keberadaan sekolah favorit itu tetep diperlukan untuk bersaing dengan negara-negara maju. Yang kami tolak terhadap RSBI dulu adalah karena fokus perhatian pemerintah focus ke RSBI dan mengabaikan keberadaan sekolah-sekolah regular. RSBI digerojok anggaran besar, sementara sekolah-sekolah regular tidak mendapatkan perhatian,” sebutnya.
Dia menceritakan pengalaman mengajar di desa dan di sekolah favorit di Jakarta. Saat mengajar di desa, menerangkan harus diulang karena kalau tidak diulang murid tidak paham. Ketika metode yang sama saya terapkan di sekolah favorit di Jakarta, kritiknya terhadap saya adalah kalau menerangkan diulang-ulang. Secara natural, kalau orang-orang cerdas dicampur dengan orang-orang yang kurang cerdas, yang cerdas tadi jadi malas sekolah karena bosen.
“Biarkan sekolah-sekolah favorit itu berkembang secara natural (tidak dibunuh dan tidak ditumbuhkan melalui penyediaan fasilitas khusus). Kita memerlukan sekolah-sekolah favorit yang mampu bersaing dengan kualitas pendidikan di negara-negara maju,” pungkasnya.