Foto Istimewa
Pembentukan KUHAP baru menandai fase krusial dalam perjalanan reformasi sistem peradilan pidana Indonesia.
Penulis : Edward Benedictus Roring (Pemerhati Hukum)
BATARA.INFO, Kota Bekasi – Setelah puluhan tahun menggunakan kerangka hukum yang tidak lagi sepenuhnya relevan dengan dinamika masyarakat modern, pembaruan ini diharapkan mampu menjadi tonggak baru dalam penguatan hukum nasional. KUHAP baru hadir bukan hanya sebagai pembaruan teknis, tetapi sebagai respon terhadap kebutuhan negara untuk memastikan mekanisme peradilan yang lebih transparan, akuntabel, dan sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks penegakan hukum, perubahan norma acara pidana merupakan langkah strategis untuk menutup celah-celah hukum yang selama ini menimbulkan praktik yang tidak seragam di lapangan.
KUHAP baru mencoba mengoreksi berbagai kekurangan sebelumnya, terutama dalam aspek penyidikan, penuntutan, penahanan, dan jaminan hak tersangka. Kehadiran aturan yang lebih terstruktur diharapkan meminimalisasi penggunaan diskresi yang tidak proporsional oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat meningkatkan rasa keadilan di masyarakat.
Selain itu, penyempurnaan KUHAP juga berkaitan erat dengan kebutuhan adaptasi teknologi. Digitalisasi proses hukum mulai dari pelaporan, pemeriksaan, hingga administrasi peradilan menuntut dasar hukum yang jelas agar setiap langkah memiliki legitimasi yang kuat. Aturan baru dalam KUHAP membuka ruang untuk modernisasi ini, sekaligus mendorong terciptanya ekosistem peradilan yang lebih efisien.
Dengan demikian, proses hukum bukan hanya lebih cepat, tetapi juga lebih dapat dipertanggungjawabkan secara administratif.
Meski demikian, pembaruan hukum acara pidana tidak lepas dari tantangan. Penerapan KUHAP baru masih akan menghadapi uji di lapangan, khususnya terkait kesiapan institusi dan sumber daya manusia. Perubahan norma tidak serta-merta menjamin perubahan praktik. Aparat penegak hukum sepatutnya juga membutuhkan pelatihan berkelanjutan untuk memahami dan menerapkan aturan baru secara konsisten.
Tanpa kesiapan kelembagaan yang matang, spirit pembaruan KUHAP berpotensi kehilangan momentum.
Di sisi lain, dinamika sosial dan perkembangan praktik hukum juga tidak statis. KUHAP baru harus mampu menjawab kompleksitas perkara yang terus berkembang, mulai dari kejahatan transnasional, kejahatan siber, hingga kasus-kasus yang menuntut kolaborasi antar lembaga.
Karena itu, ketentuan hukum acara harus responsif dan memiliki mekanisme adaptif agar tidak tertinggal oleh perubahan zaman. Dalam penerapannya kelak, sangat mungkin ditemukan pasal-pasal yang memerlukan evaluasi lebih lanjut. Hal ini bukan merupakan indikasi kelemahan, tetapi bagian alami dari suatu pembaruan hukum.
Sebagai norma yang bekerja dalam ranah praktis, penilaian terhadap efektivitas KUHAP baru hanya dapat dilakukan melalui penerapannya sehari-hari. Namun kesadaran untuk memperbaiki regulasi berdasarkan temuan empiris harus tetap dijaga agar hukum tidak kehilangan relevansinya.
Rekomendasi Kebijakan kedepan:
Mendorong evaluasi berkala terhadap implementasi KUHAP baru, khususnya pada tahun pertama dan kedua, untuk mengidentifikasi pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir atau hambatan administratif.
Menyusun pedoman teknis (juknis dan SOP) yang seragam untuk seluruh aparat penegak hukum, agar penerapan KUHAP baru tidak berbeda-beda antar implementasi daerah maupun institusi.
Meningkatkan pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi bagi penyidik, penuntut umum, dan aparat peradilan terkait perubahan aturan dan prosedur teknis.
Membuka ruang partisipasi publik dan akademisi dalam melakukan kritik konstruktif, melalui forum evaluasi reguler, kajian independen, serta konsultasi dengan lembaga masyarakat sipil.
Menetapkan mekanisme revisi terbatas apabila ditemukan ketentuan dalam KUHAP baru yang tidak efektif, tidak sinkron dengan peraturan lain, atau berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Dengan begitu KUHAP baru dapat benar-benar menjadi langkah kokoh dalam penguatan hukum Indonesia bukan hanya sebagai simbol pembaruan normatif, tetapi sebagai instrumen efektif yang memperkuat integritas dan keadilan dalam sistem peradilan pidana.
