Asep Sabar.Foto ist.
OPINI
BATARA.INFO, Kotamobagu – Kamis petang minggu kemarin, seorang kawan di Jakarta nge-share info loker dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Alasan dia, siapa tahu saya berminat daftar, “ayo, kamu daftar yah. Siapa tahu beruntung bisa lolos,” katanya berharap.
Sayangnya, info tersebut terlambat dikirim, batas akhir pengajuan dokumen lamaran hanya sampai pukul 23.59 WIB hari itu, sementara info loker baru didapat pada pukul 16.00 WIB.
Eyarat yang dimintakan sangat ringan; mengirim pengalaman kerja, daftar riwayat hidup dan Essai dengan durasi tidak lebih dari 500 karakter.
Nah, tulisan yang tayang di batara.info inilah Essai tersebut. Naskah aslinya semula diketik di handphone dan selesai tepat pukul 21.00 WIB.
Sebenarnya masih cukup waktu mengirim Essay ke loker sebelum ditutup.
Namun, karena ada pertimbangan khusus yang sifatnya privacy, maka saya urungkan diri mendaftar.
KURANG peduli bagaimana lagi bangsa ini terhadap kaum perempuan, semua difasilitasi dan keinginan sudah dipenuhi. Mulai dari Undang Undang (UU) “khusus” perempuan, ada Komnas Perempuan, ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perempuan, lembaga-lembaga swadaya perempuan, bahkan regulasi terkait keterwakilan 30 persen perempuan di semua lembaga juga sudah diberlakukan.
Tak cuma di pusat, perhatian kepada perempuan hingga ke pelosok daerah. Ada lembaga atau satuan kerja yang namanya; Dinas Pemberdayaan Perempuan, PKK, Dharma Wanita, hingga ke jenjang tingkatan desa, semuanya berjalan dan berfungsi dengan baik.
Demikian pula di lembaga-lembaga politik seperti DPD, DPR, dan DPRD, setiap lima tahun kursi-kursi kosong selalu tersedia dan siap ditempati oleh perempuan-perempuan pilihan rakyat. Aturan sudah mengatur dengan detail mulai dari pencalonan anggota legislatif (caleg) dengan mewajibkan 30 persen jatah perempuan.
Misal saja dalam satu dapil ada 9 kursi, maka jatah perempuan wajib berada diposisi tiga besar; 3, 6 atau 9 komposisi daftar caleg. Bisa juga formasi tengah-tengah 2, 5, 8 atau posisi teratas yakni 1, 4 dan 7.
Iintinya perempuan wajib “hadir” dan terpampang namanya di daftar caleg seluruh partai politik (parpol) peserta pemilu, konsekuensi bila tidak sesuai aturan 30 persen maka daftar caleg ditolak.
Ketentuan itu yang terkadang bikin parpol ketar-ketir mengingat minimnya minat kaum perempuan untuk maju dalam kontestasi sebesar pemilu. Sulitnya mencari perempuan yang mau nyaleg menjadi penyebab daftar caleg bongkar pasang. “Harga tawar” perempuan pun tiba-tiba jadi mahal.
Tak sedikit dari mereka iseng mencoba-coba “mengerjai” parpol memanfaatkan momen ini; mereka siap dicaleg-kan dengan catatan ini-itu, asalkan bla bla bla dan seterusnya. Parpol pun dipaksa manut nurut, termasuk keluar kocek membiayai pencalonan mereka; mulai dari ongkos pemeriksaan kesehatan, urus legalisir ijazah, cetak baligo serta spanduk dan lain-lain.
Ketika ada parpol yang hanya mengajukan satu orang caleg di dapil tertentu, aturan memastikan satu orang tersebut wajib perempuan. Kalau caleg laki-laki yang disodorkan, maka tidak memenuhi syarat dan dianggap parpol tidak memasukkan caleg di dapil tersebut, bila hingga masa perbaikan tidak dilakukan perbaikan sesuai regulasi. Kemudian bila terjadi perolehan angka dukungan caleg yang sama alias seri.
Misalkan, di dapil tertentu satu partai setelah melalui hitung-hitungan sainte lague beroleh jatah satu kursi, namun untuk menentukan siapa yang berhak atas kursi tersebut ternyata ada dua caleg dengan perolehan angka dukungan dan persebaran suara yang sama. Maka jalan yang ditempuh adalah wajib mendahulukan dengan meloloskan caleg perempuan. Termasuk dalam penentuan calon senator atau DPD terpilih.
Nah, pertanyaan sekarang; mengapa masih saja ada protes, tuduhan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan? Bila tidak terakomodir dalam sebuah seleksi, atau kalah dalam sebuah proses pemilihan di lembaga apapun dan di level manapun, siapa yang harus disalahkan; regulasinya atau kualitas si perempuannya? Bila dalam sebuah penentuan atau pilihan yang memungkinkan berhadap-hadapannya laki-laki dan perempuan kemudian si perempuan kalah, apakah itu merupakan bentuk ketidakadilan atau ke-tidakfair-an terhadap perempuan? Sudah pastilah semua terpulang ke kualitas dan kemampuan si perempuan.
KONTESTASI POLITIK KOTA
Rabu (27/11/2024) ini sebanyak 203.657.354 warga Indonesia yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Tahun 2024; pemilihan gubernur-wakil gubernur (pilgub), bupati-wakil bupati (pilbup) dan pemilihan walikota-wakil walikota (pilwako). Secara nasional terpecah rekor jumlah pemilih kategori jenis kelamin, sebab dari 203 juta lebih tersebut sebanyak 102.111.361 (50,9 persen) adalah pemilih perempuan[1], sementara 101.654.993 (49,91 persen) merupakan pemilih laki-laki. Ini sejarah pertama kali jumlah pemilih perempuan lebih banyak ketimbang pemilih laki-laki.
Berbeda dengan data nasional, di DPT Sulut justru terbalik dari 1.950.484 pemilih, sebanyak 983.484 adalah pemilih laki-laki dan 967.000 pemilih perempuan[2]. Begitupun Kota Kotamobagu dari total DPT 90.298 pemilih, laki-laki sebanyak 45.531 dan pemilih perempuan 44.767. Kota Kotamobagu hanyalah kota kecil di Sulawesi Utara (Sulut) dengan jumlah penduduk tak lebih dari 200 ribu orang. Jumlah yang sangat sedikit dibanding satu kelurahan di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, tempat saya dilahirkan setengah abad silam. Meski jumlahnya sedikit tapi menorehkan sejarah menarik, khususnya terkait perpolitikan lokal daerah. Kota Kotamobagu —yang oleh warga Sulut biasa disebut Kota atau KK— adalah daerah pemekaran Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).
Sebelum mekar, Kota atau KK hanyalah sebuah kecamatan yang kebetulan menjadi ibukota kabupaten Bolmong pada waktu itu. Karena itu unik, ketika Kota atau KK pisah justru ibukota induk Bolmong yang pindah, bukan daerah pemekarannya. Padahal Bolmong tidak memiliki kota untuk dijadikan ibukota waktu itu, semua yang tergabung di Bolmong selepas Kotamobagu merupakan desa.
Luas wilayah Kota pun tak lebar-lebar amat; hanya 184,33 km2, terdiri dari empat kecamatan dan 33 desa/kelurahan. Tak ada potensi alam atau obyek wisata yang dapat “dijual” atau dikembangkan oleh pemerintah kota sejak tahun 2007, selain jasa perdagangan dan kuliner UMKM. Bagi kami, justru dengan luas wilayah yang “singset” tersebut menjadikan rentang kendali jadi lebih mudah dan serba “sat set”. Pengalaman menjadi penyelenggara pemilu sedikit terbantukan dengan kondisi minimalis wilayah Kota atau KK. Seluruh koordinasi ketingkatan “bawah” bisa dilakukan secara cepat, hanya hitungan menit.
Semisal acara rakor “luring” dadakan yang mengharuskan kehadiran para petugas dari 4 kecamatan dan 33 desa/kelurahan, tak butuh waktu berjam-jam, hanya hitungan tak lebih dari 30 menit mereka sudah tiba di lokasi dengan menggunakan motor roda dua atau angkutan umum roda tiga becak motor (bentor).
Demikian pula ketika ada kasus atau kejadian yang mengharuskan tim inspeksi misalnya, tak butuh waktu lama sudah tiba di lokasi. Desa terjauh atau perbatasan di empat titik arah mata angin perbatasan Kota atau KK tak memakan puluhan kilometer untuk menjangkaunya. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman yang dimasuki melalui lorong atau gang-gang, semua serba hitungan menit saja.
Apalagi sekarang sudah jaman teknologi yang memudahkan pencarian lokasi terpencil sekalipun.
Sebagai “bekas” ibukota kabupaten terbesar di Sulut —ketika masih satu kota yaitu; Manado, dan empat kabupaten yakni; Bolmong, Minahasa, Sangihe Talaud, dan Gorontalo—, keberadaan Kota atau KK sebenarnya banyak diuntungkan.
Selain pusat-pusat pendidikan, kesehatan, perekonomian, jasa serta perdagangan, semua aset-aset peninggalan daerah induk langsung dimanfaatkan serta dikelola, tak perlu memulai semuanya dari nol sebagaimana halnya daerah-daerah pemekaran lainnya.
Lalu, apa yang menarik dari Kota atau KK, terutama yang terkait dengan persoalan perempuan? Dua periode menjadi penyelenggara pemilu saya mencatat banyak hal terkait debut “bobay” (gadis, red) —sebutan untuk perempuan etnis Bolmong—, dalam perpolitikan daerah. Beberapa diantaranya; (1). Posisinya di pemerintahan, dan (2). Perhatian serta partisipasinya terhadap proses demokrasi; baik pemilu maupun pilkada.
Pertama, sejak tahun 1956, saat Bolmong menyatakan diri bergabung ke Sulut, tercatat baru dua kali daerah ini dipimpin bupati perempuan, yakni; Marlina M. Siahaan (MMS) dan Yasti Soeprejo Mokoagow (YSM).
Setelahnya, tidak ada lagi “Bogani Putri” menjadi petinggi pemerintahan di Bolmong. Semasa MMS ditahun 2007-2008 sejarah mencatat Bolmong “dipecah” menjadi satu kota dan empat kabupaten yakni; Kota Kotamobagu, Bolmong Utara, Bolmong Selatan, Bolmong Timur dan Bolmong.
Dari hasil pemekaran tersebut muncul sosok Bobay baru; Tatong Bara (TB), yang dipilih rakyat sebagai walikota perempuan pertama Kota selama dua periode berturut-turut, meski sebelumnya selama satu periode dia sempat menjadi wakil walikota dan Wakil Ketua DPRD Kota Kotamobagu.
Secara tidak langsung TB melengkapi daftar sejarah perempuan tak bisa dianggap remeh dari posisi tertinggi di pemerintahan, khusus di Kota atau KK maupun Bolmong bersatu.
Kini, ketika memasuki iven pilkada kali keempat tahun 2024, ada calon pemimpin berlatar Bobay yang memberanikan diri maju berkontestasi, namanya; Sri Tanti Angkara (STA) sebagai pendamping calon walikota laki-laki yang memiliki latar sebagai praktisi hukum dan mantan penyelenggara pemilu tiga periode.
Mampukah dia dengan berbagai kekurangan serta kelebihannya bertarung full melengkapi kekuatan yang dimiliki pasangannya, dan yang lebih penting mempertahankan “tradisi” perempuan tetap berada di pucuk pimpinan pemerintahan Kota Kotamobagu? Sanggupkah dia mengikuti jejak pendahulunya di Bolmong; MMS dan YSM, serta TB di Kotamobagu? Sebab, lawan yang dia hadapi bukan laki-laki sembarangan, mereka orang-orang tangguh; politisi parpol, mantan pimpinan DPRD, dan mantan birokrat. Kondisi ini jelas berbeda suasana dengan Pilgub di Jawa Timur yang menampilkan tiga kontestan perempuan, sehingga apapun hasilnya nanti perempuanlah yang dipastikan menjadi Gubernur Jawa Timur.
Kedua, bagaimana perempuan Kota memandang proses demokrasi di Kota? Di empat kali gelaran pemilu maupun pilkada, prosentase partisipasi politik perempuan Kota justru berada di atas laki-laki, meski di DPT jumlah pemilih laki-laki lebih banyak dari pemilih perempuan.
Di portal https://jdih.kpu.go.id tahun 2022 saya pernah menulis soal sepak terjang politik perempuan Kota dan patut dicontoh perempuan di semua daerah.
Judulnya; “Belajar Politik dari Perempuan (Refleksi Tingginya Pengguna Hak Pilih Perempuan di Kota Kotamobagu)”. Di tulisan tersebut dikupas data kepedulian kaum perempuan Kota terhadap Pilwako Kotamobagu (2018), Pemilu (2019) dan Pilgub Sulut (2020).
Yang (1). Pilwako 2018 tercatat jumlah DPT 85.800 pemilih (laki-laki 43.177 dan perempuan 42.623). Hasil akhir dari pemungutan suara pemilih laki-laki menjadi 34.202 dan pemilih perempuan 35.263.
Ada selisih perempuan lebih banyak 1.061 orang atau 50,76 persen dari pemilih laki-laki. (2). Pemilu 2019 yang hanya diikuti dua paslon presiden suara dukungan tertinggi masyarakat Kota menunjukkan angka yang cukup baik yakni 78,29 persen, melebihi target nasional 75 persen. Total jumlah pemilih di DPT sebanyak 90.940 (laki-laki 45.567 orang dan perempuan 45.373 orang). Hasil akhir tercatat sebanyak 73.321 (laki-laki 36.372 orang dan perempuan 36.749 orang) dengan selisih 377 orang untuk pemilih perempuan (50,24 persen).
Saat Pileg 2019 jumlah perempuan masih jauh dari target 30 persen kursi DPRD Kota Kotamobagu. Mereka hanya beroleh lima orang dari 25 kursi (20 persen). DPT saat itu tercatat 90.940 orang dengan pemilih laki-laki 45.567 orang dan perempuan 45.373 orang. Namun hasil akhir pemilihan jumlah pemilih menjadi 70.791 orang (77,84 persen) dengan pemilih laki-laki 36.558 orang dan perempuan 36.713 orang. Jumlah pemilih perempuan lebih banyak 155 orang (50,10 persen) dari pemilih laki-laki.
Kemudian (3). Pilgub 2020, meski ditengah suasana Covid-19 perjalanan pilkada serentak tetap berlangsung lancar dan aman-aman. DPT tercatat 85.639 orang dengan rincian laki-laki 43.221 orang (50,46 persen) dan perempuan 42.418 orang (49,53 persen). Dihasil akhir pemungutan suara pemilih laki-laki 30.576 orang (48,93 persen) dan pemilih perempuan 31.910 orang (51,06 persen) atau dengan total 85.638 pemilih. Selisih lebih untuk pemilih perempuan sebanyak 1.334 orang. Demikian halnya pada kategori Pengguna Hak Pilih pemilih laki-laki 31.334 orang (48,96 persen) pemilih perempuan 32.653 orang (51,03 persen) dengan total Pengguna Hak Pilih 63.987 orang (73,43 persen).
Sayang sekali, untuk mengecek data Pemilu 2024 terakhir, saya terkendala sistem. Sirekap sebagai alat bantu yang digunakan pada rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu 2024 ternyata sudah terkunci dan tidak bisa lagi diakses oleh publik. Yang bisa diakses hanyalah data perolehan suara dan kursi parpol serta hasil pilpres yang tersimpan rapi dan bisa diunduh di website serta portal KPU setiap saat dan kapan saja. Sehingga di ujung tulisan ini tidak bisa digambarkan apakah tradisi tingginya tingkat partisipasi perempuan daripada partisipasi laki-laki di Kota saat penyelenggaraan pemilu masih terjaga, atau sudah tidak lagi.
Yang pasti Pilkada Serentak Tahun 2024 kali ini menjadi ajang penentuan bagi keberlangsungan posisi perempuan di pemerintahan kota. Empat kali penyelenggaraan pilkada menempatkan Bobay di posisi strategis antara 01 (walikota) dan 02 (wakil walikota). Dan, bila saja STA berhasil memenangkan pilkada 2024 ini bersama pasangannya, berarti tradisi tersebut terjaga. Namun bila gagal, maka berakhir sudah tradisi tersebut. Tidak ada yang dapat memastikan kapan lagi perempuan Kota akan kembali memegang posisi penting di pemerintahan, sebagaimana halnya di Kabupaten Bolmong. (**)
Penulis: Asep Sabar, Warga Kota Kotamobagu Sulut.
Referensi ;
[1] https://news.detik.com/pilkada/d-7656333/data-jumlah-pemilih-pilkada-2024-berdasarkan-usia-gen-z-25-69-milenial-33 (Diunduh 26 November 2024),
[2] https://regional.kompas.com/read/2024/09/22/231007478/kpu-tetapkan-jumlah-dpt-pilkada-sulut-1950484-pemilih (Diunduh 26 November 2024),